Dimanakah rumah Tuhan? Rumah Tuhan ada di balik semak
belukar. Ah, tidak. Rumah Tuhan ada di atas air. Mengapa dapat
tergenang? Ah, bukan. Rumah Tuhan ada
diantara rerimbunan pohon bambu yang menjuntai.
“Gentingnya
berwarna merah. Kemarin aku ke sana,”
kata Salma meyakinkan. “Banyak sekali sungai berwarna-warni. Aku sangat suka pantainya. Luas sekali. Kelinci-kelinci berlari-lari di atas air... Rumah Tuhan itu indah sekali ya, Yah….”
ungkapnya meminta dukungan.
Ayahnya menghela nafas panjang. Tangannya
sibuk bermain di meja kerja menuntaskan setiap laporan, “Kau terlalu banyak
mengkhayal, Salma.”
“Tidak, Yah! Salma benar-benar ke sana! Setiap kali ke
rumah Tuhan, Salma selalu dijahitkan pakaian baru yang serba putih dan wangi.
Kapan Ayah ke sana bersama Ibu?”
“Ibumu
sudah meninggal. Apakah perlu Ayah mengatakan ini berulang-ulang?”
Anak perempuan 4 tahunan itu terdiam
mengerut. “Tapi, Ibu suka datang ke rumah kalau Ayah sedang di kantor.
Ibu masih suka menemani Salma, Ayah…”
lidahnya membingkai belas iba. Ayahnya tak menjawab. Kesal dan capek
rasanya menerangkan yang itu-itu juga. Kadang tahu, kadang minta diulangi lagi.
“Maaf
Salma, Ayah tidak punya waktu…” Salma mematung. Kakinya
melemas menuju kamar. Malam yang sepi menemani tahun-tahun terakhir ini. Ketika
itu, saat usianya baru 3 tahunan, ia hanya dapat mengingat selintas-lintas. Ia
tahu kalau ia pernah mempunyai seorang ibu. Tetapi ia paham betul, ibunya
bermain sembunyi-sembunyian di dalam tanah. Arak-arakan orang yang menunduk sedih berbanding terbalik
dengan senyumannya yang polos.
“Ibu,
mau kemana?” begitu tanya Salma dalam gendongan ayahnya ke keranda yang
diusung. Waktu itu, ia tidak memiliki dan merasa apapun. Tetapi lambat laun,
sejak ia masuk Taman kanak-Kanak, ia merasakan kesunyian yang kadang menyergap
diam-diam.
“Ibu
kamu yang mana, Ma?”
“Aku kok nggak pernah melihat ibumu,
Ma?”
“Eh, denger-denger, kamu sudah nggak
punya ibu, ya?”
“Kok kamu suka sendirian sih, Ma?”
Salma tak pernah marah. Dalam senyum, ia menjawab,
“Ibuku
sudah pulang, ke rumah Tuhan…” Rumah Tuhan, dimanakah itu?
♥ ♥ ♥
“Mbah
Uti…. Mbah Uti! Ibu datang! Tadi Ibu datang lagi!” Mbah Uti sang nenek trenyuh.
“Mbah Uti tidak percaya? Benar, tadi Ibu datang. Ibu
mengajarkan Salma membuat boneka dari karet gelang.“ Tangan mungil itu
melingkarkan 2 karet gelang di jemari dan menggerak-gerakkannya. “Ini boneka
tangan, Mbah!” katanya riang. Mata perempuan tua itu berubah sebening intan. Hatinya
terobek teriris menyimak karet-karet gelang itu yang menari sekehendak hati di
atas tangan mungil itu.
“Ibumu yang mengajarimu, Nak?” Salma
mengangguk. Dipeluknya rapat-rapat. Berdua mereka memandang rumah kecil di
seberang jalan. Penimbun kepedihan. Tentang pernikahan yang diceraikan Tuhan,
pintu yang selalu terkunci jika penghuninya pergi, dan kesendirian seorang anak
kecil.
“Salma, mengapa kau selalu betah di rumah
sendirian sepulang sekolah? Di sana tidak ada siapa-siapa. Kalau pulang
sekolah, tinggallah di sini sampai Bapakmu pulang. Sekalian nemenin adikmu. Mbah Uti takut ada
apa-apa…”
Salma tertawa. “Ah, Mbah Uti penakut! Di rumah, Salma bisa nonton TV,
belajar sendiri, nyanyi nari sendiri… Ntar kalau Salma pengen minum susu, kan ke Mbah Uti juga.” Ia mencium
kening neneknya lalu berlari kecil menyeberangi
jalan. Tangannya yang mungil melambai sebelum menutup pintu.
Begitu, setiap hari. Salma lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah. Sendirian.
Ia hanya menyeberangi jalan ke rumah neneknya untuk makan, minum susu, mandi
sore, dan menunggu sang Ayah datang. Mereka akan pulang bersama, bahkan hingga
malam, jam berapa pun. Tetapi kesendirian Salma seperti tiada membekas. Salma
kukuh bercerita, ia selalu ditemani ibunya.
Malam itu saat Salma terbangun mendengar
deru motor Ayahnya, ia masih sempat mendengar Mbah Uti berbicara,
“Salma, anakmu itu…. Dulu dia tidak pernah bercerita apapun
tentang ibunya, sekarang hampir setiap hari. Ibu kadang merasa takut dan ngeri.
Apa jangan-jangan di rumahmu itu…”
“Bu, istri Nanda sudah meninggal, 8 jam
setelah melahirkan Fariz. Nanda tidak melihat hal yang aneh-aneh. Salma memang
suka berkhayal. Khayalannya kadang menyebalkan. Nanda bukan merasa takut, malah
memancing emosi saja,” kilah Nanda menahan geram. Sang Ibu menasehati, “Salma
itu anak kandungmu, jangan perlakukan dia seperti musuh besar…”
Sejenak obrolan mereka terhenti saat
langkah kecil Salma mendekati sang Ayah dan meminta untuk menggendongnya, “Ayo,
Ayah… pulang. Kita tidur di rumah.”
Jam menunjukkan pukul 22.00. Selama dua tahun lebih, seperti itu pula cara
Salma menanti Ayahnya. Bertemu, menyeberangi jalan, dan menutup pintu dengan
lambaian tangan kepada neneknya.
Siang itu, seusai sekolah, Salma tidak
segera pulang ke rumah Mbah Uti. Anak perempuan itu bermain bersama
teman-temannya. Sebuah tempat yang sejuk dan rindang pun diburu. Tapi teman-temannya merasa takut.
“Nah, di sini rumah Tuhan. Di sini rumah Ibu Salma..” katanya bangga. Seonggok tanah yang masih menggunduk dan
belum merata juga, ditunjuk. Sebuah nisan kayu bertuliskan nama ”Adinda Batari”
terpampang masih jelas. Anak-anak pucat pasi. Mereka gidik. “Setiap hari Salma
suka kemari. Mengobrol, bercerita, yah… pokoknya Salma punya ibu, kok…”
Teman-teman Salma terdiam. Sebagian mata
mereka memerah. Anak-anak itu saling berpandangan. Mendadak, mereka
berhamburan. Teriakannya pekak, “Ibunya Salma sudah mati… sudah mati.. sudah
mati!!!!” Pontang panting mereka berlari, berseruduk, jatuh-jatuhan dan
tangis-tangisan.
Salma berdiam diri. Sekarang ini, hanya
matanya saja yang membasah. Tangannya memeluk erat tas sekolah. Arah kepalanya
dipalingkan ke pusara.
“Ibu…. Ibu lagi apa?” ia membelai-belai
tanah dengan rasa bahagia.
Cerita tentang Salma yang ternyata selama
ini suka sendirian ke kuburan ibunya menjadi pembicaraan para warga. Para Ibu
khawatir anak-anak mereka kerasukan setan. Salma pun dikucilkan, dinasehati tak
henti, dialihperhatiankan, dan kalau perlu.. dijauhi dalam pergaulan. Tetapi
bukan Salma kalau tidak mempunyai akal panjang. Seluruh perlakuan tak
menyenangkan hampir tak berpengaruh dalam jiwa, kecuali kalau sudah berhadapan
dengan amarah Ayah.
“Jadi benar kalau selama ini kau suka
sendirian ke kuburan setelah pulang sekolah?! Lalu kau bawa cerita-cerita
bohong kalau almarhumah Ibumu selalu datang setiap hari ke rumah, mengajak
bermain, mengajarkan ini itu?!” setengah menghardik Ayahnya bertanya. Salma mengangguk.
“Salma!!!
Ayah tidak suka kamu berulah seperti ini!!!” teriak Ayahnya melepas
kesabaran. Salma menunduk. “Tetapi Yah… memang benar Salma suka bertemu Ibu.
Ibu tidak pernah meninggalkan Salma. Salma tidak berbohong…”
“Kamu bohong!” sebuah lecutan sapu mendarat
di pantat. Salma meringis. Setengah berlari ia ke kamar.” Ibu… Ibu…”
“Ibumu sudah meninggal! Dia tidak bisa
hidup lagi!” Malam itu, Ayahnya sengaja menjadikan Salma gadis bisu.
Esok harinya, Salma meminta izin kepada
nenek. ”Salma mau menjenguk Ibu…” suaranya bergetar. Kali ini, perempuan baya
itu pun tidak kuasa menyembunyikan ketidaksabaran, “Salma, Ibumu sudah
meninggal! Ibumu sudah wafat! Berapa kali Mbah Uti dan Ayahmu harus menerangkan
ini semua kepadamu? Sadarlah, Nak!”
Salma
terhenyak, “Tapi Mbah, hari ini Salma sudah berjanji akan menjenguk Ibu ke
rumah Tuhan.”
“Rumah
Tuhan yang mana?! Tuhan tidak pernah
mempunyai rumah! Dia tidak butuh segala sesuatu yang manusia butuhkan. Dia
sudah Sangat Sempurna. Janganlah Salma membuat sedih kami semua dengan khayalan-khayalanmu!”.
Salma pucat pasi.
Ia tak
mungkin lagi dapat meyakinkan siapapun jika sang Ibu kerap bermain umpet-umpetan
di balik pintu lemari, mendatanginya saat sendirian di rumah, mengajaknya
bermain masak-masakan…. Semuanya terjadi di saat semua orang tidak tahu. Salma
putus asa.
Di beberapa hari terakhir, Salma pendiam. Tak ada semangat di hadapan Ayah dan neneknya. Di
hari-hari itu pula, para tetangga kian kerap menceritakan kebiasan aneh Salma
sepulang sekolah. Mengodok-ngodok tanah kuburan, bernyanyi lagu baru, mengitari
kuburan dengan baju barunya, atau sekadar tertawa mengisahkan kejadian lucu di
sekolah. Makam ibunya telah menjadi rumah keduanya. Di luar bertingkah, di
rumah melemah.
Nasehat
sekaligus murka keluarga hanya mempan di depan. Dikuntit sepulang sekolah,
Salma malah kian tak berdaya. Pintu rumah pun selalu dikunci untuknya sekarang.
Tetapi pada hari itu, saat kepercayaan sedikit diberikan,
Salma belum pulang. Menjelang sore tak ada
tanda. Magrib mengundang kecemasan, dan malam menyuguhkan ketakutan mencekam.
Salma tak pulang. “Cari Salma!” perintah Mbah Uti dengan bulu kuduk merinding.
Puluhan orang berpencar. Mencari ke para tetangga, lapangan, hingga kuburan.
Tak ada jejak. Salma tak banyak meninggalkan sandi. Larut malam menjelang hanya
senandung lail merobek kesedihan.
Penduduk bersusah payah. Tetapi anak kecil itu tetap tak pernah ditemukan. Di
atas sebuah makam yang tanahnya membeku dingin, hanya ada gumpalan tangan
mungil yang membekas, merogoh-rogoh. Ke selokan, tak ada.
Ke sepenjuru wilayah, tak memberi
harap. Salma menghilang.
Beberapa kali laporan ke pihak keamanan serasa percuma. Semakin orang rajin mencari Salma, semakin hilang ditelan
bumi. Hingga gelombang keputusasaan merangsek meradang di setiap orang, Salma tetap
setia untuk tak pernah muncul. Dia tak pernah pulang. Salma seperti sengaja pergi dan tak memberi kabar, kecuali kabar mengenaskan pada beberapa hari yang menjadi puncak hari
kepedihan. Salma ditemukan membujur kaku, mati tenggelam dan terseret di daerah
sungai, menjauh dari wilayah pemakaman. Terperosok,
terarus-arus….
Tinggallah sang Ayah yang meratap-ratap tak
berkesudahan di daun pintu mengharap
puterinya kembali. Hidup sendiri di tengah malam sepi. Terngianglah kini
cerita-cerita tentang kelinci yang dapat berlarian di atas samudera.
Bintang-bintang yang dapat dipetik, sungai-sungai yang berwarna-warni dan dapat
diteguk kapan saja, serta boneka-boneka yang dapat berbicara seperti layaknya
manusia, tak pernah mungkin dapat dilupakan.
Orang-orang akan menitikkan air mata.
Selalu begitu jika mendengar kisah Salma yang dalam diam, senantiasa meratapi
kematian ibunya. Ia membawa kisah-kisah dari dunia ibunya. Dulu, tangannya yang
mungil tak pernah lupa merontokkan kembang-kembang mawar sekadar untuk
ditaburkan. Air matanya pun kerap bercampur dengan tanah makam.
Anehnya,
sekarang setiap orang selalu merindukan ocehan Salma, anak perempuan yang
kehilangan Ibunya dalam sebuah tragedi. Orang-orang mulai tidak memedulikan
apakah dulu ia sedang berkhayal atau memang demikianlah sesungguhnya.
Di suatu pagi yang cerah, seorang ayah
berdandan rapi sekali. Tubuhnya wangi. Ibunya yang merasa aneh, bertanya
sebelum dipamiti. “Nanda, kau rapi sekali. Tidak mungkin kau pergi kerja
dengan baju seperti ini. Mau kemana, Nak?”. Nanda tersenyum. Matanya tawar,
senyumnya pias, pelupuknya menggenang,
“ Menyusul Salma, Bu. Menjenguk Dinda... ke rumah Tuhan …”