Meskipun Mahkamah Agung sudah mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
tapi sepertinya Mahkamah Agung masih harus bekerja ekstra keras untuk
mensosialisasikan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar
pegadilan sebagai cara yang paling diminati oleh masyarakat luas.
Pada acara dengar pendapat baru-baru ini yang melibatkan pihak
Mahkamah Agung dengan lembaga-lembaga mediasi Nasional yang terakreditasi MA, organisasi
pemerintah dan non pemerintah yang dinilai memiliki peran berarti bagi
sosialisasi mediasi, dan para profesional peminat mediasi dapat dicermati
sebuah fenomena bahwa pilihan masyarakat pada mediasi masih jauh dari memuaskan.
Di Indonesia tingkat keberhasilan masih di bawah 10 persen, sementara di
Australia dan Jepang bisa di atas 50 persen. Walau belum dapat dipastikan dalam
data yang valid namun fenomena menunjukkan bahwa para pihak yang sedang bersengketa
dan memilih penyelesaian sengketanya tersebut tidak melalui litigasi cenderung memlih Singapura sebagai basis utama
bermediasi walau tempat persengketaan atau hal yang akan didamaikan berada di wilayah
Indonesia. Ini sangat memprihatinkan.
Ada tiga kekeliruan terbesar mengapa mediasi
belum menjadi pilihan utama di Indonesia yaitu pertama: anggapan bahwa sangat
banyak hakim yang malas untuk melakukan mediasi apalagi jika kasusnya mendekati
vonis atau pembacaan putusan; kedua adalah:
advokat yang terlanjur dicap negatif
sebagai penghalang utama proses mediasi karena mereka lebih memilih memenangkan
klien sebagai wujud tanggung jawab
kepercayaan dan kuasa yang diberikan kepadanya, dan ketiga: pandangan bahwa
Indonesia tidak memiliki mediator independen yang dapat diandalkan.
Di luar itu semua, ternyata masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui tentang jasa mediator
independen dan pilihan mediasi. Padahal sebagai bentuk penyelesaian
sengketa dengan cara-cara damai, mediasi sesungguhnya sangat dekat dengan
budaya musyawarah untuk mufakat {sila keempat Pancasila}. Mediasi sudah seharusnya
mendapat tempat yang lebih baik dan memberikan harapan sebagai alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara-cara damai sesuai
fungsinya.
Menyimak perilaku masyarakat yang sedikit-sedikit ke pengadilan, dan memiliki persepsi bahwa satu-satunya
penyelesaian akhir sengketa adalah putusan hakim terutama melalui jalur
litigasi, maka seyogyanya mediasi harus diproyeksikan sebagai cara
menyelesaikan sengketa yang lebih menjanjikan.
Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 yang sedang dalam proses
direvisi terutama di bagian prosedur mediasi di Pengadilan dan instrumen
pendukungnya sebenarnya telah meletakkan dasar penerapan mediasi. Namun sekali
lagi, hasilnya masih jauh dari harapan walau tujuh tahun sudah berlalu.
Tingginya perkara perdata (maupun pidana) yang diselesaikan melalui litigasi masih
mendominasi dibandingkan melalui jalur mediasi. Padahal sangat banyak kasus
perdata yang dapat diselesaikan dengan cara mediasi. Bahkan dalam kondisi tertentu,
mediasi penal atau mediasi kasus kepidanaan sudah mulai diwacanakan dapat
menjadi pilihan hukum yang dibenarkan.
Mempromosikan
Peraturan.
Hal yang menjadi sorotan dari kurang
efektifnya mediasi adalah minimnya upaya-upaya mempromosikan peraturan yuridis
tentang mediasi sebagai produk hukum
yang dikomunikasikan sedemikian rupa dengan cara-cara menarik agar masyarakat
merasa akrab dan mempunyai rasa memiliki yang patut terhadap suatu ketentuan
formal. Mediasi hanya disinggung dalam banyak UU sebagai alternative dispute resolution (ADR), dan tidak ditempatkan sebagai
cara utama dalam menyelesaikan suatu perkara. Maka timbul pertanyaan kritis,
mengapa Mediasi tidak menjadi UU yang berdiri sendiri, atau setidaknya UU Arbitrase-lah
yang direvisi dengan memasukkan pasal-pasal terfokus tentang mediasi yang untuk
dianggap memadai untuk saat ini. Memang bukan wewenang Mahkamah Agung untuk membuat
Undang-Undang tetapi sudah menjadi tanggung jawab semua pihak untuk
menyosialisasikan mediasi dengan lebih aktif. Harapan keberhasilan bermediasi
itu justru ada di kelompok yang terbiasa melakukan mediasi yaitu mediator
independen. Yaitu tindakan bermediasi yang didasarkan pada kesadaran dan kerelaan para pihak agar
menyelesaikan perselisihan tanpa jalur litigasi, dan diwasiti oleh pihak ketiga
yang netral.
Walau sering dikatakan bahwa mediasi adalah harapan
baru penuh keniscayaan tetapi bukan berarti tidak memiliki hal-hal yang perlu
dibenahi, antara lain kewajiban mengenai proses pencatatan ke pengadilan: apakah
hasil mediasi itu mutlak mengikat, cukup
pengesahan langsung ke Pengadilan, mengajukan permohonan, atau pengajuan gugatan
pura-pura, serta siapa dan bagaimana persyaratan yang pantas menjadi mediator, sepertinya
masih harus diperjelas karena dapat memicu ketidakpastian.
Mencermati berbagai konflik yang terjadi dalam kehidupan berbangsa yang majemuk
ini seperti konflik partai politik, konflik sesama pejabat/lembaga negara, pencegahan
kasus SARA, dunia infotainment, persaingan
bisnis dan Informasi Teknologi, dan
permasalahan lainnya yang sangat mungkin berkembang maka harapan menggunakan
jasa meditor dan jalur mediasi adalah sangat direkomendasikan untuk dibudayakan.
Benar kiranya jika Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memang harus direvisi dan diperluas. Siap tidak siap,
proses mengedukasi publik agar lebih mendorong mediasi sebagai pilihan populer
harus segera dilakukan. Sebab jika tidak, mediasi akan selalu berjalan di
tempat tanpa indikasi kemajuan yang berarti, dan hal ini akan merugikan banyak
pihak. Maka biarkanlah harapan bernama mediasi itu mengemuka dan semua pihak
berperan aktif untuk memolesnya agar lebih sempurna.
===ooo===
AGUSTRIJANTO:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar