Senin, 08 Juni 2015

HARAPAN ITU BERNAMA MEDIASI






Meskipun Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tapi sepertinya Mahkamah Agung masih harus bekerja ekstra keras untuk mensosialisasikan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pegadilan sebagai cara yang paling diminati oleh masyarakat luas.

Pada acara dengar pendapat baru-baru ini yang melibatkan pihak Mahkamah Agung dengan lembaga-lembaga mediasi Nasional yang terakreditasi MA, organisasi pemerintah dan non pemerintah yang dinilai memiliki peran berarti bagi sosialisasi mediasi, dan para profesional peminat mediasi dapat dicermati sebuah fenomena bahwa pilihan masyarakat pada mediasi masih jauh dari memuaskan. Di Indonesia tingkat keberhasilan masih di bawah 10 persen, sementara di Australia dan Jepang bisa di atas 50 persen. Walau belum dapat dipastikan dalam data yang valid namun fenomena menunjukkan bahwa para pihak yang sedang bersengketa dan memilih penyelesaian sengketanya tersebut tidak melalui litigasi cenderung  memlih Singapura sebagai basis utama bermediasi walau tempat persengketaan atau hal yang akan didamaikan berada di wilayah Indonesia. Ini sangat memprihatinkan.

Ada tiga kekeliruan terbesar mengapa mediasi belum menjadi pilihan utama di Indonesia yaitu pertama: anggapan bahwa sangat banyak hakim yang malas untuk melakukan mediasi apalagi jika kasusnya mendekati vonis atau pembacaan putusan;  kedua adalah:  advokat yang terlanjur dicap negatif sebagai penghalang utama proses mediasi karena mereka lebih memilih memenangkan klien sebagai wujud  tanggung jawab kepercayaan dan kuasa yang diberikan kepadanya, dan ketiga: pandangan bahwa Indonesia tidak memiliki mediator independen yang dapat diandalkan.

Di luar itu semua, ternyata masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang jasa mediator  independen dan pilihan mediasi. Padahal sebagai bentuk penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai, mediasi sesungguhnya sangat dekat dengan budaya musyawarah untuk mufakat {sila keempat Pancasila}. Mediasi sudah seharusnya mendapat tempat yang lebih baik dan memberikan harapan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara-cara damai sesuai fungsinya.

Menyimak perilaku masyarakat yang sedikit-sedikit ke pengadilan,  dan memiliki persepsi bahwa satu-satunya penyelesaian akhir sengketa adalah putusan hakim terutama melalui jalur litigasi, maka seyogyanya mediasi harus diproyeksikan sebagai cara menyelesaikan sengketa yang lebih menjanjikan.  Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 yang sedang dalam proses direvisi terutama di bagian prosedur mediasi di Pengadilan dan instrumen pendukungnya sebenarnya telah meletakkan dasar penerapan mediasi. Namun sekali lagi, hasilnya masih jauh dari harapan walau tujuh tahun sudah berlalu. Tingginya perkara perdata (maupun pidana)  yang diselesaikan melalui litigasi masih mendominasi dibandingkan melalui jalur mediasi. Padahal sangat banyak kasus perdata yang dapat diselesaikan dengan cara mediasi. Bahkan dalam kondisi tertentu, mediasi penal atau mediasi kasus kepidanaan sudah mulai diwacanakan dapat menjadi pilihan hukum yang dibenarkan.

Mempromosikan Peraturan.
Hal yang menjadi sorotan dari kurang efektifnya mediasi adalah minimnya upaya-upaya mempromosikan peraturan yuridis tentang mediasi  sebagai produk hukum yang dikomunikasikan sedemikian rupa dengan cara-cara menarik agar masyarakat merasa akrab dan mempunyai rasa memiliki yang patut terhadap suatu ketentuan formal. Mediasi hanya disinggung dalam banyak UU sebagai alternative dispute resolution (ADR), dan tidak ditempatkan sebagai cara utama dalam menyelesaikan suatu perkara. Maka timbul pertanyaan kritis, mengapa Mediasi tidak menjadi UU yang berdiri sendiri, atau setidaknya UU Arbitrase-lah yang direvisi dengan memasukkan pasal-pasal terfokus tentang mediasi yang untuk dianggap memadai untuk saat ini. Memang bukan wewenang Mahkamah Agung untuk membuat Undang-Undang tetapi sudah menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menyosialisasikan mediasi dengan lebih aktif. Harapan keberhasilan bermediasi itu justru ada di kelompok yang terbiasa melakukan mediasi yaitu mediator independen. Yaitu tindakan bermediasi yang didasarkan pada  kesadaran dan kerelaan para pihak agar menyelesaikan perselisihan tanpa jalur litigasi, dan diwasiti oleh pihak ketiga yang netral.

Walau sering dikatakan bahwa mediasi adalah harapan baru penuh keniscayaan tetapi bukan berarti tidak memiliki hal-hal yang perlu dibenahi, antara lain kewajiban mengenai proses pencatatan ke pengadilan: apakah hasil mediasi itu mutlak mengikat,  cukup pengesahan langsung  ke Pengadilan,  mengajukan permohonan, atau pengajuan gugatan pura-pura, serta siapa dan bagaimana persyaratan yang pantas menjadi mediator, sepertinya masih harus diperjelas karena dapat memicu ketidakpastian.

Mencermati berbagai konflik yang  terjadi dalam kehidupan berbangsa yang majemuk ini seperti konflik partai politik, konflik sesama pejabat/lembaga negara, pencegahan kasus SARA,  dunia infotainment, persaingan bisnis dan Informasi Teknologi,  dan permasalahan lainnya yang sangat mungkin berkembang maka harapan menggunakan jasa meditor dan jalur mediasi adalah sangat direkomendasikan untuk dibudayakan. Benar kiranya jika Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memang harus direvisi dan diperluas. Siap tidak siap, proses mengedukasi publik agar lebih mendorong mediasi sebagai pilihan populer harus segera dilakukan. Sebab jika tidak, mediasi akan selalu berjalan di tempat tanpa indikasi kemajuan yang berarti, dan hal ini akan merugikan banyak pihak. Maka biarkanlah harapan bernama mediasi itu mengemuka dan semua pihak berperan aktif untuk memolesnya agar lebih sempurna.


===ooo===

AGUSTRIJANTO:    


Tidak ada komentar: