Selasa, 09 Juni 2015

{fiksi cerpen) MENJENGUK IBU KE RUMAH TUHAN





Dimanakah rumah Tuhan? Rumah Tuhan ada  di balik semak belukar. Ah, tidak. Rumah Tuhan ada di atas air. Mengapa dapat tergenang? Ah, bukan. Rumah Tuhan ada diantara rerimbunan pohon bambu yang menjuntai. 
            “Gentingnya berwarna merah. Kemarin aku ke sana,” kata Salma meyakinkan.  “Banyak sekali sungai berwarna-warni. Aku sangat suka pantainya. Luas sekali.  Kelinci-kelinci  berlari-lari di atas air...  Rumah Tuhan itu indah sekali ya, Yah….” ungkapnya meminta dukungan.
Ayahnya menghela nafas panjang. Tangannya sibuk bermain di meja kerja menuntaskan setiap laporan, “Kau terlalu banyak mengkhayal, Salma.”
          “Tidak, Yah! Salma benar-benar ke sana! Setiap kali ke rumah Tuhan, Salma selalu dijahitkan pakaian baru yang serba putih dan wangi. Kapan Ayah ke sana bersama Ibu?”
            “Ibumu sudah meninggal. Apakah perlu Ayah mengatakan ini berulang-ulang?” 
Anak perempuan 4 tahunan itu terdiam mengerut.  “Tapi, Ibu suka datang ke rumah kalau Ayah sedang di kantor. Ibu masih suka menemani Salma, Ayah…”  lidahnya membingkai belas iba. Ayahnya tak menjawab. Kesal dan capek rasanya menerangkan yang itu-itu juga. Kadang tahu, kadang minta diulangi lagi.
            “Maaf Salma, Ayah tidak punya waktu…” Salma mematung. Kakinya melemas menuju kamar. Malam yang sepi menemani tahun-tahun terakhir ini. Ketika itu, saat usianya baru 3 tahunan, ia hanya dapat mengingat selintas-lintas. Ia tahu kalau ia pernah mempunyai seorang ibu. Tetapi ia paham betul, ibunya bermain sembunyi-sembunyian di dalam tanah. Arak-arakan orang yang menunduk sedih berbanding terbalik dengan senyumannya yang polos.
            “Ibu, mau kemana?” begitu tanya Salma dalam gendongan ayahnya ke keranda yang diusung. Waktu itu, ia tidak memiliki dan merasa apapun. Tetapi lambat laun, sejak ia masuk Taman kanak-Kanak, ia merasakan kesunyian yang kadang menyergap diam-diam.
            “Ibu  kamu yang mana, Ma?”
            “Aku kok nggak pernah melihat ibumu, Ma?”
            “Eh, denger-denger, kamu sudah nggak punya ibu, ya?”
            “Kok kamu suka sendirian sih, Ma?”
Salma tak pernah marah. Dalam senyum, ia menjawab,
            “Ibuku sudah pulang,  ke rumah Tuhan…” Rumah Tuhan, dimanakah itu?
♥ ♥ ♥

            “Mbah Uti…. Mbah Uti! Ibu datang! Tadi Ibu datang lagi!” Mbah Uti sang nenek trenyuh.
            “Mbah Uti tidak percaya? Benar, tadi Ibu datang. Ibu mengajarkan Salma membuat boneka dari karet gelang.“ Tangan mungil itu melingkarkan 2 karet gelang di jemari dan menggerak-gerakkannya. “Ini boneka tangan, Mbah!” katanya riang. Mata perempuan tua itu berubah sebening intan. Hatinya terobek teriris menyimak karet-karet gelang itu yang menari sekehendak hati di atas tangan mungil itu.
 “Ibumu yang mengajarimu, Nak?” Salma mengangguk. Dipeluknya rapat-rapat. Berdua mereka memandang rumah kecil di seberang jalan. Penimbun kepedihan. Tentang pernikahan yang diceraikan Tuhan, pintu yang selalu terkunci jika penghuninya pergi, dan kesendirian seorang anak kecil.
“Salma, mengapa kau selalu betah di rumah sendirian sepulang sekolah? Di sana tidak ada siapa-siapa. Kalau pulang sekolah, tinggallah di sini sampai Bapakmu pulang.  Sekalian nemenin adikmu. Mbah Uti takut ada apa-apa…”
Salma tertawa. “Ah, Mbah Uti penakut! Di rumah, Salma bisa nonton TV, belajar sendiri, nyanyi nari sendiri… Ntar kalau Salma pengen minum susu, kan ke Mbah Uti juga.” Ia mencium kening neneknya lalu berlari kecil menyeberangi  jalan. Tangannya yang mungil melambai sebelum menutup pintu.
Begitu, setiap hari. Salma lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.  Sendirian. Ia hanya menyeberangi jalan ke rumah neneknya untuk makan, minum susu, mandi sore, dan menunggu sang Ayah datang. Mereka akan pulang bersama, bahkan hingga malam, jam berapa pun. Tetapi kesendirian Salma seperti tiada membekas. Salma kukuh bercerita, ia selalu ditemani ibunya.
Malam itu saat Salma terbangun mendengar deru motor Ayahnya, ia masih sempat mendengar Mbah Uti berbicara, 
“Salma, anakmu itu….  Dulu dia tidak pernah bercerita apapun tentang ibunya, sekarang hampir setiap hari. Ibu kadang merasa takut dan ngeri. Apa jangan-jangan di rumahmu itu…”
“Bu, istri Nanda sudah meninggal, 8 jam setelah melahirkan Fariz. Nanda tidak melihat hal yang aneh-aneh. Salma memang suka berkhayal. Khayalannya kadang menyebalkan. Nanda bukan merasa takut, malah memancing emosi saja,” kilah Nanda menahan geram. Sang Ibu menasehati, “Salma itu anak kandungmu, jangan perlakukan dia seperti musuh besar…”
Sejenak obrolan mereka terhenti saat langkah kecil Salma mendekati sang Ayah dan meminta untuk menggendongnya, “Ayo, Ayah… pulang. Kita tidur di rumah.”
Jam menunjukkan pukul 22.00.  Selama dua tahun lebih, seperti itu pula cara Salma menanti Ayahnya. Bertemu, menyeberangi jalan, dan menutup pintu dengan lambaian tangan kepada neneknya.

Siang itu, seusai sekolah, Salma tidak segera pulang ke rumah Mbah Uti. Anak perempuan itu bermain bersama teman-temannya. Sebuah tempat yang sejuk dan rindang pun diburu. Tapi teman-temannya merasa takut.
“Nah, di sini rumah Tuhan. Di sini rumah Ibu Salma..” katanya bangga. Seonggok tanah yang masih menggunduk dan belum merata juga, ditunjuk. Sebuah nisan kayu bertuliskan nama ”Adinda Batari” terpampang masih jelas. Anak-anak pucat pasi. Mereka gidik. “Setiap hari Salma suka kemari. Mengobrol, bercerita, yah… pokoknya Salma punya ibu, kok…”
Teman-teman Salma terdiam. Sebagian mata mereka memerah. Anak-anak itu saling berpandangan. Mendadak, mereka berhamburan. Teriakannya pekak, “Ibunya Salma sudah mati… sudah mati.. sudah mati!!!!” Pontang panting mereka berlari, berseruduk, jatuh-jatuhan dan tangis-tangisan.
Salma berdiam diri. Sekarang ini, hanya matanya saja yang membasah. Tangannya memeluk erat tas sekolah. Arah kepalanya dipalingkan ke pusara.
“Ibu…. Ibu lagi apa?” ia membelai-belai tanah dengan rasa bahagia.
Cerita tentang Salma yang ternyata selama ini suka sendirian ke kuburan ibunya menjadi pembicaraan para warga. Para Ibu khawatir anak-anak mereka kerasukan setan. Salma pun dikucilkan, dinasehati tak henti, dialihperhatiankan, dan kalau perlu.. dijauhi dalam pergaulan. Tetapi bukan Salma kalau tidak mempunyai akal panjang. Seluruh perlakuan tak menyenangkan hampir tak berpengaruh dalam jiwa, kecuali kalau sudah berhadapan dengan amarah Ayah.
“Jadi benar kalau selama ini kau suka sendirian ke kuburan setelah pulang sekolah?! Lalu kau bawa cerita-cerita bohong kalau almarhumah Ibumu selalu datang setiap hari ke rumah, mengajak bermain, mengajarkan ini itu?!” setengah menghardik Ayahnya bertanya.  Salma mengangguk.
“Salma!!!  Ayah tidak suka kamu berulah seperti ini!!!” teriak Ayahnya melepas kesabaran. Salma menunduk. “Tetapi Yah… memang benar Salma suka bertemu Ibu. Ibu tidak pernah meninggalkan Salma. Salma tidak berbohong…”
“Kamu bohong!” sebuah lecutan sapu mendarat di pantat. Salma meringis. Setengah berlari ia ke kamar.” Ibu… Ibu…”
“Ibumu sudah meninggal! Dia tidak bisa hidup lagi!” Malam itu, Ayahnya sengaja menjadikan Salma gadis bisu.

Esok harinya, Salma meminta izin kepada nenek. ”Salma mau menjenguk Ibu…” suaranya bergetar. Kali ini, perempuan baya itu pun tidak kuasa menyembunyikan ketidaksabaran, “Salma, Ibumu sudah meninggal! Ibumu sudah wafat! Berapa kali Mbah Uti dan Ayahmu harus menerangkan ini semua kepadamu? Sadarlah, Nak!”
            Salma terhenyak, “Tapi Mbah, hari ini Salma sudah berjanji akan menjenguk Ibu ke rumah Tuhan.”
            “Rumah Tuhan yang mana?!  Tuhan tidak pernah mempunyai rumah! Dia tidak butuh segala sesuatu yang manusia butuhkan. Dia sudah Sangat Sempurna. Janganlah Salma membuat sedih kami semua dengan  khayalan-khayalanmu!”.
Salma pucat pasi.
            Ia tak mungkin lagi dapat meyakinkan siapapun jika sang Ibu kerap bermain umpet-umpetan di balik pintu lemari, mendatanginya saat sendirian di rumah, mengajaknya bermain masak-masakan…. Semuanya terjadi di saat semua orang tidak tahu. Salma putus asa.
            Di beberapa hari terakhir, Salma pendiam. Tak ada semangat di hadapan Ayah dan neneknya. Di hari-hari itu pula, para tetangga kian kerap menceritakan kebiasan aneh Salma sepulang sekolah. Mengodok-ngodok tanah kuburan, bernyanyi lagu baru, mengitari kuburan dengan baju barunya, atau sekadar tertawa mengisahkan kejadian lucu di sekolah. Makam ibunya telah menjadi rumah keduanya. Di luar bertingkah, di rumah melemah.
            Nasehat sekaligus murka keluarga hanya mempan di depan. Dikuntit sepulang sekolah, Salma malah kian tak berdaya. Pintu rumah pun selalu dikunci untuknya sekarang.
            Tetapi pada hari itu, saat kepercayaan sedikit diberikan, Salma belum pulang. Menjelang sore tak ada tanda. Magrib mengundang kecemasan, dan malam menyuguhkan ketakutan mencekam. Salma tak pulang. “Cari Salma!” perintah Mbah Uti dengan bulu kuduk merinding. Puluhan orang berpencar. Mencari ke para tetangga, lapangan, hingga kuburan. Tak ada jejak. Salma tak banyak meninggalkan sandi. Larut malam menjelang hanya senandung  lail merobek kesedihan. Penduduk bersusah payah. Tetapi anak kecil itu tetap tak pernah ditemukan. Di atas sebuah makam yang tanahnya membeku dingin, hanya ada gumpalan tangan mungil yang membekas, merogoh-rogoh. Ke selokan, tak ada.  Ke sepenjuru wilayah, tak memberi harap.  Salma menghilang.

Beberapa kali laporan ke pihak keamanan serasa percuma. Semakin orang rajin mencari Salma, semakin hilang ditelan bumi. Hingga gelombang keputusasaan merangsek meradang di setiap orang, Salma tetap setia untuk tak pernah muncul. Dia tak pernah pulang. Salma seperti sengaja pergi dan tak memberi kabar, kecuali kabar mengenaskan pada  beberapa hari yang menjadi puncak hari kepedihan. Salma ditemukan membujur kaku, mati tenggelam dan terseret di daerah sungai, menjauh dari wilayah pemakaman. Terperosok, terarus-arus….

Tinggallah sang Ayah yang meratap-ratap tak berkesudahan  di daun pintu mengharap puterinya kembali. Hidup sendiri  di tengah malam sepi. Terngianglah kini cerita-cerita tentang kelinci yang dapat berlarian di atas samudera. Bintang-bintang yang dapat dipetik, sungai-sungai yang berwarna-warni dan dapat diteguk kapan saja, serta boneka-boneka yang dapat berbicara seperti layaknya manusia, tak pernah mungkin dapat dilupakan.
Orang-orang akan menitikkan air mata. Selalu begitu jika mendengar kisah Salma yang dalam diam, senantiasa meratapi kematian ibunya. Ia membawa kisah-kisah dari dunia ibunya. Dulu, tangannya yang mungil tak pernah lupa merontokkan kembang-kembang mawar sekadar untuk ditaburkan. Air matanya pun kerap bercampur dengan tanah makam.
            Anehnya, sekarang setiap orang selalu merindukan ocehan Salma, anak perempuan yang kehilangan Ibunya dalam sebuah tragedi. Orang-orang mulai tidak memedulikan apakah dulu ia sedang berkhayal atau memang demikianlah sesungguhnya.
             Di suatu pagi yang cerah, seorang ayah berdandan rapi sekali. Tubuhnya wangi. Ibunya yang merasa aneh, bertanya sebelum dipamiti.  “Nanda, kau rapi sekali. Tidak mungkin kau pergi kerja dengan baju seperti ini. Mau kemana, Nak?”. Nanda tersenyum. Matanya tawar, senyumnya pias, pelupuknya menggenang,     
              “ Menyusul Salma, Bu. Menjenguk Dinda... ke rumah Tuhan …”    

                                                ♥ ♥ ♥ ♥ ♥

Tidak ada komentar: